Senin, 29 Januari 2018

Emang Enak Tinggal di Luar Negri?

Biasanya nih, kalau mau ke luar negri yang terbayang yang indah-indah aja, yang akan hidup di negri majulah, yang pemandangannya indah, bisa megang salju, kemana-mana pergi akan berbahasa Inggris, punya teman-teman dari seluruh penjuru dunia, keren lah pokoknya…

Begitu juga dengan komentar orang-orang yang tau kami sekeluarga akan berangkat ke Selandia Baru, “Wah…mau jadi orang Eropa nih ya…” langsung aku heran “???............ Selandia Baru itu di bawahnya Australia, bukan temannya Swedia, Finlandia atau Norwegia”, “O….wkwkwk” temanku cekikikan. Ada juga mahasiswaku yang bilang gini, “Ms. Mau berangkat ke luar negri? Bareng keluarga? Asik ya!” aku jawab, “Iya, alhamdulillah, tapi saya ke sana mau kuliah, bukan mau jalan-jalan…” “Iya, tapi kan sambal jalan-jalan juga”, ok lah, ada benarnya, gak mungkin juga aku cuma mondar-mandir rumah-kampus-rumah setiap hari.

Tapi sebenarnya aku sendiri sudah sedikit banyak tau rasanya tinggal di luar negri karena 10 tahun lalu aku kuliah di Australia. Australia dan Selandia Baru mungkin kurang lebih sama, gitu pikirku. Walaupun terus terang aku tidak suka cuaca dingin, tapi semuanya patut disyukuri. Ada temanku yang mengatakan, “Kalau nggak dingin, ya nggak seperti tinggal di luar negri”, dan aku pikir itu ada benarnya juga, hehe. Karena sebenarnya aku ingin kuliah ke negri yang dekat-dekat saja, seperti di Malaysia, namun memang tidak takdirku ke situ. Karena aku pernah lulus seleksi tes beasiswa pemerintah Aceh dengan negara tujuan Malaysia, tapi harus ganti negara tujuan karena backroundku memang Pendidikan Bahasa Inggris. Aku harus pilih salah satu dari 4 negara pilihan: Selandia Baru, Taiwan, Rusia atau Jerman. Jelas bahwa Selandia Baru pilihan yang paling baik. Walaupun kemudiannya aku tinggalkan beasiswa ini karena dapat beasiswa lain yang memberikan biaya keluarga, namun tetap saja di form aplikasi kutulis Selandia Baru sebagai negara tujuan, ya, inilah takdirku, alhamdulillah ‘ala kulli hal.

Walaupun sudah memperkirakan keadaan yang akan kami sekeluarga hadapi, namun tetap saja rasa rindu kampung halaman, atau istilah kerennya homesick melandaku, bahkan kami sekeluarga, terutama di 2 minggu pertama. Homesick itu memang penyakitnya orang yang baru saja meninggalkan kampung halaman. Biasanya homesick itu tidak langsung hadir di hari pertama ketibaan di negri orang, bisa jadi di hari ke-3, ke-4, beda-beda sih, tergantung personnya.
Jadi menurut teori, beberapa hari pertama itu kita masih excited, happy, “Wah, aku udah nyampe di negri orang nih, so beautiful! Amazing!” begitulah kira-kira yang dirasakan di hari-hari pertama. Namun sedikit demi sedikit rasa sepi itu hadir, perasaan bahwa aku sendiri di negri orang, tidak ada keluarga, tidak ada saudara dan teman akrab, tidak mengerti bagaimana naik bus, kemana mau belanja, dimana mau beli makanan atau bahan makanan cita rasa Indonesia, de el el.

Perasaan ini, seperti sudah aku sebutkan di atas, juga melanda kami, walaupun kami berangkat bersama. Karena yang muncul adalah rasa rindu pada suasana kampung halaman. Terutama anakku yang perempuan, dia kangeeeeen berat sama neneknya, alias ibuku, karena memang dia yang paling dekat dengan nenek. Kalau aku sendiri merasa homesick selain karena belum beradaptasi dengan lingkungan baru, juga karena dari awal aku memang tidak suka dengan cuaca dingin, dan kami tiba di negri ini memang di awal winter, klop deh. Tapi kalau aku pikir-pikir, rasa homesickku itu seharusnya bisa kuredam atau kuminimalisir dengan rasa syukur kepada Allah atas segala karuniaNya kepadaku. Aku sadar bahwa di sana banyak teman-temanku yang lebih layak daripadaku untuk kuliah di sini, tapi mungkin belum takdir mereka untuk tinggal dan kuliah di sini.

Anyway, setelah mencapai klimaks homesick, masih berdasarkan teori, sedikit demi sedikit penyakit ini akan berkurang alias anti klimaks. Karena seiring waktu kita akan mulai beradaptasi dengan lingkungan baru, mulai mengenal lebih dekat lingkungan sekitar, dan yang paling penting, punya teman-teman baru! Karena teman-teman ini akan menjadi pengganti keluarga ketika kita jauh di rantau. Ada rasa senasib sepenanggungan yang menjalin keterikatan hati. Maka ketiba di negri orang, hilanglah rasa kesukuan, perbedaan agama atau hal lainnya, yang tinggal hanyalah rasa nasionalisme dan persaudaraan.

Oleh karena itu, kalau kamu mau meninggalkan kampung halaman, sangat baik untuk mencari tau informasi tentang kota tujuan, terutama hal-hal yang kurang kamu sukai, seperti misalnya perubahan cuaca yang tidak menentu, atau gak bisa makan bakso, kecuali mau buat sendiri, dan jangan lupa, bergabunglah dengan komunitas apa saja, baik komunitas pelajar dari negri sendiri, atau cari kegiatan di kampus yang membuat kamu benar-benar merasa bagian dari kampus atau jalan-jalan di hari libur, jangan lupa ajak teman, biar kamu nggak merasa lonely….
Akhirnya, kamu akan bilang gini nih, THIS IS MY SECOND HOME!             

Kamis, 25 Januari 2018

Apa yang Harus Dilakukan Kalau Ada Bagasi yang Hilang?

Tenang, tenang, yang hilang bukan koper berisi baju, tapi koper yang isinya printer dan kain selimut tipis untuk menjaga printer dari benturan. Saat itu tidak ada lagi penumpang yang mengantri bagasi, tinggal 3 orang petugas di tempat scan isi koper dan 1 orang petugas di counter tempat melaporkan kehilangan barang. Akupun langsung menuju ke petugas tersebut dan melaporkan bahwa satu bagasi kami hilang. Lalu kami diminta untuk menunggu sambil mereka berusaha mencari. Tunggu punya tunggu…hasilnya nihil. Akhirnya aku diminta mengisi form tentang koper yang hilang, warna, merek, isinya apa, naik penerbangan apa, dll.

Setelah itu baru kami mengscan koper-koper dan tas kami yang semuanya berjumlah 14, 12 koper, dan 3 tas. Di tempat scan koper, aku langsung memberikan satu tas untuk diperiksa, karena isi tas itu semuanya barang-barang yang harus di declare atau dilaporkan. Barang-barang yang harus dilaporkan itu umumnya makanan, obat-obatan, biasanya kalau makanan dan obat itu dari pabrik atau makanan homemade yang dikemas rapi, juga tercantum ingredientsnya, tidak jadi masalah, tapi tetap harus dilaporkan. Biasanya yang tidak lulus sensor alias harus masuk tong sampah adalah makanan yang terbuka seperti buah-buahan, atau barang dari kayu atau tanah liat, intinya barang dari benda organic, dan banyak lagi yang harus dideclare. Kalau tidak kita declare dan ketahuan waktu koper kita discan, maka kita dianggap menyembunyikan benda tersebut, dan resikonya biasanya harus membayar denda yang jumlahnya jutaan. Jadi, hati-hati dengan benda-benda yang harus dideclare ini, pelajari peraturan keimigrasian negara tujuan, yang umumnya sama dengan peraturan imigrasi internasional, sebelum kita mempacking barang-barang kita.

Ketika petugas tempat mendeclare barang tahu bahwa kami dari Indonesia, spontan dia bertanya, “Rendang?”, saya bilang tidak ada, kebetulan memang tidak terpikir untuk membawa rendang, toh bahan-bahan untuk memasak rendang gampang dicari di kota tujuan.
Biasanya, karena saya orang Aceh, yang terpikir adalah membawa Asam Sunti, atau Belimbing Wuluh yang dikeringkan, dan pernah sukses lolos di imigrasi sewaktu Ibu saya ke Adelaide 10 tahun yang lalu untuk mengunjungi saya yang sedang studi S2 di sana dan akan melahirkan anak kami yang kedua. Waktu itu asam suntinya dikemas rapi dengan 2 lapis plastik transparan dan disematkan kertas yang terketik ingredientsnya. Karena Belimbing Wuluh tidak populer di negara-negara dengan suhu dingin seperti Australia, maka kami gunakan nama Bahasa Latinnya sebagai Bahasa internasional untuk tanaman, karena di Australia tumbuhan ini tidak bisa dijumpai, sedangkan di kota Christchurch ada, tapi dalam bentuk frozen di toko-toko kelontong Asia, itupun belum tentu selalu ada pasokan.
Satu lagi yang dibawa oleh ibu saya adalah Pliek U atau kelapa yang dikeringkan dan menghitam, tapi tidak lolos, dan dengan meminta maaf petugas bandara memasukkannya ke tong sampah, wajar saja, karena baunya memang menyengat, haha. Itulah dua bumbu khas makanan Aceh yang hampir tidak ditemukan di wilayah Indonesia lainnya, kalaupun ada, biasanya harus rela buat sendiri.


Asam Sunti atau Belimbing Wuluh kering dan Pliek U atau kelapa yang dikeringkan

Beres urusan imigrasi, kami menuju ke luar bandara, celingukan mencari jemputan dari University of Canterbury yang sudah kami order online untuk menjemput kami, fasilitas ini gratis untuk mahasiswa. Namun karena kami sudah sangat terlambat, mobilnya sudah tidak ada lagi. Tidak ada pilihan lain, kami pun menumpangi Super Shuttle, dengan 5 orang penumpang, bayi tidak dihitung, dan belasan koper + tas, saat itu kami harus membayar NZD$42.

Tiba di rumah sudah pukul 5 sore, saat itu menjelang winter, dan pukul 5 sore itu sudah hampir masuk waktu shalat Maghrib. Di rumah Mbak Ririn dan keluarganya sudah menunggu kami dengan satu panci kuah sup ayam dan dadar telur. Sebelumnya Mbak Ririn sempat nanya, “Mbak Dian suka makanan pedas?” Aku jawab suka, tapi untuk menghindari sakit perut di hari-hari pertama kedatangan kami, maka aku bilang jangan pedas aja. Aku sangat bersyukur atas perhatian yang diberikan oleh Mbak Ririn dan keluarganya, yang sangat tahu kondisi kami yang baru sampai pastinya lapar dan letih. Apalagi makanan dalam pesawat terakhir yang kami tumpangi bercita rasa makanan bule, anak-anak tidak suka dengan aroma jintan yang lumayan kuat dalam daging yang disediakan untuk kami. 

Selasa, 23 Januari 2018

Hecticnya Berangkat Sekeluarga ke Negri Orang

Setelah selesai urusan rumah, sekarang saatnya berburu tiket murah. Setelah bolak balik online, alhamdulillah dapat tiket sekitar 35 juta Banda Aceh-Christchurch untuk 2 dewasa, 3 anak dan 1 bayi. Untuk penerbangan ini kami harus transit 3x: Banda Aceh-Kuala Lumpur dengan Air Asia, lanjut Kuala-Lumpur-Singapore dengan pesawat Virgin, Singapore-Brisbane dan Brisbane-Christchurch dengan pesawat Qantas. Dari Banda Aceh pesawat take off pukul 8.30 hari Rabu pagi, tiba di Christchurch sekitar 3.30 siang hari Kamis. Saat itu menjelang winter dan perbedaan waktu antara Banda Aceh dan Christchurch mencapai 5 jam lebih awal di Christchurch.

Yang paling hectic + frantic itu waktu tiba di Kuala Lumpur, karena waktu transit hanya 3 jam 25 menit, dan kami harus antri untuk ambil 12 bagasi, plus ada 3 tentengan, plus anak satu di gendongan dan memastikan 3 anak lainnya tetap seiring selari (sejalan), tepatnya sa’i atau lari-lari kecil, dengan antrian yang maa syaa Allah panjang dan baru selesai sekitar 35 menit, setelah itu langsung menuju ke lokasi cek-in penerbangan dengan pesawat Virgin karena untuk penerbangan internasional kita harus sudah di counter cek-in 2 jam sebelum penerbangan.

Bagasi kami

Syukurnya pesawat Virgin itu sodaranya Qantas, jadi nggak perlu ambil bagasi lagi hingga tiba di Christchurch nantinya.
Tiba di Singapore, barulah kami makan siang, memang sudah telat, hampir pukul 16.00 waktu Singapore, tapi tidak jadi masalah karena sudah makan pagi dan sudah makan ala kadarnya di Kuala Lumpur. Shalat Ashar dan Dhuhur kami laksanakan di mushalla Bandara Changi, Singapore, namun untuk shalat Maghrib jamak dengan Isya kami shalat di dekat ruang tunggu keberangkatan. Tidak sanggup lagi balik ke mushalla yang agak jauh jaraknya karena ada tas yang harus ditenteng dan kasian juga anak-anak jadi makin capek.

Malam itu pukul 09.00 waktu setempat kami menuju Brisbane, Australia, dengan menumpangi pesawat Qantas, walaupun numpang tapi kami udah beli tiket ya... Walaupun ini penerbangan yang paling lama, tapi anak-anak enjoy karena bisa nonton di TV mini yang terletak di bagian belakang sandaran kursi penumpang di depannya. Maklumlah, selama ini cuma pernah naik pesawat Air Asia dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur, tentunya dengan penerbangan yang hanya memakan waktu 1 jam 35 menit tidak ada fasilitas entertainment. Makanannya pun masih selera kita, nasi kari. Makanan yang disediakan di dalam pesawat sudah kami pesan online waktu beli tiket agar diberikan Halal Meal. Serunya, makanan untuk kami dulu yang diantar, baru untuk penumpang lainnya. 

Esok paginya tiba di Bandara Brisbane kami bisa santai, sempat foto-foto sedikit, karena tidak perlu ambil bagasi. Saat itu terpikir mau cari air minum dari kran yang memang disediakan di tempat-tempat umum untuk diisikan ke botol minuman kami yang kosong. Tapi sudah bolak balik tetap nggak nemu. Mau beli air mineral, gak punya uang Dollar Australia. Akhirnya, sama seperti di Singapore sewaktu mau membeli makanan untuk makan siang, aku pun menukar uang Rupiah ke Dollar Australia, sekedar untuk beli minum dan potato chips original. Pelajaran yang bisa diambil di sini, siapin recehan mata uang negara tempat transit, karena menukar mata uang di bandara tentunya lumayan tinggi perbedaan kursnya. And you know what? Aku menukar uang untuk dapat sekitar AUD$10, tapi karena pajak untuk penukaran mata uang mencapai AUD$4, jadi cuma dapat AUD$6, makanya cuma bisa beli air mineral dan chips, gubrak!

Pukul 9 pagi kami melanjutkan penerbangan dengan Qantas menuju Christchurch. Penerbangan hanya memakan waktu 3 jam 3 menit, namun karena perbedaan waktu antara Brisbane dan Christchurch mencapai 3 jam, maka setibanya di Christchurch sudah pukul 3.30 siang. Kami pun lalu  menuju tempat ambil bagasi, dan mulai menghitung, 1, 2, 3, 4, …..12??? Kenapa cuma 12 ya? Harusnya 13. Hitung lagi, masih 12, pikir punya pikir, koper atau tas mana yang hilang…O, o…
Iklan dulu ya…heheh

Minggu, 21 Januari 2018

Berangkat Studi Sekaligus dengan Keluarga ke Negri Orang, Mungkinkah?

Cerita hari ini kita mulai dengan urusan keberangkatan kami sekeluarga ke Christchurch, New Zealand.
Saat itu, Mei 2017, urusan visa alhamdulillah sudah selesai. Jadi apalagi nih? Harusnya tinggal berangkat aja, karena Offer of Placeku dimulai tanggal 1 Juni. Tapi aku masih bertahan di Banda Aceh, menunggu kabar dari dua teman yang kukenal lewat dunia maya, Mbak Ririn dan Nida, membantu mencarikan rumah untuk kami sekeluarga.
Sebelumnya aku sudah menghubungi grup PPIC (Perhimpunan Pelajar Indonesia Canterbury) mengabarkan kalau aku butuh bantuan dicarikan rumah. Alhamdulillah Mbak Ririn dan Nida berinisiatif menghubungiku langsung. Akhirnya kami bergerilya mencari rumah di situs Trade Me, dan meminta keluangan waktu Mbak Ririn dan Nida untuk men-viewingkan rumah yang kumaksud tersebut.

Sedikit aku ingin membahas tentang peraturan sewa menyewa rumah di negri ini. Berbeda dengan sistem sewa menyewa rumah di Indonesia, di New Zealand, layaknya juga di Australia, sebelum si penyewa memutuskan mau menyewa rumah atau kamar, maka harus diadakan viewing dulu. Maknanya, rumah atau kamar yang hendak disewa harus dilihat dulu situasi dan kondisinya. Terkadang kalau lagi rejeki, yang mau viewing cuma kita aja nih, dan si pemilik rumah atau agen rumah langsung oke untuk kita menempati rumahnya. Nah, masalahnya, seringkali viewing itu dihadiri oleh banyak orang dengan niat yang sama, mau menyewa rumah yang dimaksud. Kalau ini yang terjadi, maka si pemilik rumah atau agen rumah akan memutuskan siapa yang beruntung untuk tinggal di rumah tersebut dengan melihat pada data yang kita isi di form untuk menyewa rumah yang diberikan. Dalam hal ini, kalau kamu seorang student yang mengantongi beasiswa, biasanya akan lebih gampang dapat rumah, karena ada jaminan uang sewa rumah tidak akan tertunggak. Namun tidak semua pemilik atau agen rumah senang dengan penyewa yang memiliki anak-anak kecil, seperti keluarga kami, karena anak-anak cenderung akan mengeluarkan kreatifitasnya dengan mencoret-coret dinding rumah.

Kembali ke cerita kami setelah beberapa kali viewing, Mbak Ririn dan Nida tidak merekomendasikan rumah yang aku maksud karena letaknya jauh dari kampus. Aku kemudian berinisiatif meng-email  salah satu agen rumah, mengatakan bahwa aku betul-betul butuh rumah segera. Alhamdulillah, ternyata ada rumah yang tidak jadi disewa dan lokasinya dekat kampus. Memang harga sewanya di atas budget yang kami perkirakan, namun untuk ukuran rumah dengan 4 kamar, harga yang diberikan sudah termasuk di bawah standar.


Alhamdulillah setelah Mbak Ririn men-viewing rumah tersebut, dan Nida membantu urusan administrasinya, kunci rumah sudah boleh diambil. Isi rumah bagaimana? Kebetulan ada salah seorang mahasiswa yang kuliah di Lincoln University, berjarak sekitar 30 menit dari University of Canterbury, universitas tujuanku, telah menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia dengan keluarganya dalam bulan April 2017. Maka aku minta take over isi rumah mereka, paling tidak begitu kami tiba, ada kasur untuk merebahkan diri dan ada peralatan masak dan makan. Sebelum kami punya rumah, isi rumah yang sudah kami take over itu kami titipkan dulu di rumah salah satu mahasiswa Indonesia yang punya space di garasinya. Sekitar satu bulan barang-barang tersebut memenuhi garasi teman, akhirnya setelah Nida mengantongi kunci rumah kami, barang-barang tersebut bisa segera dipindah rumahkan. Alhamdulillah banyak yang mau membantu. Terima kasih yang amat sangat kepada semua teman-teman di Christchurch yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuk kebutuhan kami sekeluarga, padahal saat itu kita bahkan belum pernah bertatap muka, namun bantuan yang diberikan layaknya bantuan untuk keluarga dekat, alhamdulillah.
Bersambung ya….

Kamis, 18 Januari 2018

Cara Mendaftar Kampus Luar Negri: Mendaftar sendiri atau Melalui Study Agent?

Selain pe-er mencari supervisor bagi yang mau kuliah research, ada lagi nih pe-er lain bagi yang belum dapat LoA, dan ini berlaku bagi semua beasiswa awardee. Yup, pastinya setelah dapat beasiswa, bagi kamu yang belum nemu kampus, ya cari kampus dong, kalau ga ada kampus, ga bakalan cair beasiswa yang nilainya milyaran rupiah itu…

Ingat ya, belum tentu semua kampus punya jurusan yang kamu tuju, jadi, sebelum kamu apply formally, cek dulu ada atau nggaknya di courses yang ditawarkan. Kalau udah nemu, baca-baca dulu pengalaman orang lain yang kuliah di universitas tersebut, syukur-syukur dapat pengalaman orang lain yang jurusannya sama seperti jurusanmu.

Udah mantap mau apply di kampus tersebut? Ada dua opsi untuk mendaftar, daftar sendiri, atau melalui agen. Sebenarnya kalau kamu mau lebih direct, pilihan mendaftar sendiri lebih tepat, selain kamu juga jadi ngerti bagaimana mendaftar di kampus luar negri. Tapi mendaftar lewat agen juga ada keuntungannya, yang jelas lebih hemat waktu, terutama bagi orang yang punya kesibukan di luar rumah. Bukan hanya itu, visa kamu juga bakalan diurusin, semuanya free, karena mereka udah dikasih persen sama kampus tujuan.

Saya sendiri memilih kedua cara tersebut, karena ada kampus yang minta kita mendaftar sendiri, bukan melalui agen. Untuk kampus yang tidak mensyaratkan seperti itu, saya memilih lewat agen, pertimbangannya selain hemat waktu, saya bekerja di luar rumah, dan juga rencananya akan membawa serta anggota keluarga, terdiri dari 3 anak umur sekolah dan satu bayi umur setahunan, gak lupa ayahnya lah…hehehe, untuk jadi supir anak-anak ke sekolah. Nah, visa kami semua akan dibantu pengurusannya oleh agen, jadi insya Allah memang benar-benar akan sangat membantu.

Tapi… bukan berarti udah diurusin sama agen lantas kamu nggak ngerjain apa-apa. Tetap ada yang mesti kamu sendiri yang ngisi di form aplikasi tersebut. Seperti mencari rekomendasi dari atasan atau dosen pembimbing waktu kuliah dulu. Ada juga bagian yang minta kamu menulis pengalaman riset. Trus di bagian lain juga ada diminta men-list publikasi kamu, sekaligus apa yang kamu pelajari dari hasil menulis publikasi itu.

Nah, bagi kamu yang tidak menggunakan jasa agen, dan mendaftar di beberapa kampus, kamu akan mengisi form yang serupa tapi tak sama berulang kali. Kenapa berulang kali? Apa gak cukup mendaftar di satu kampus saja? Masalahnya, kita toh gak berani kepedean akan diterima di kampus pilihan pertama, walaupun ipk dan nilai TOEFL/IELTS di atas rata-rata, tetap aja sebaiknya at least mendaftarlah di 3-4 kampus tujuan. Nah, semua kampus ini form aplikasi online nya kemungkinan akan beda-beda dikit. Terus terang aja, cape lho, ngisi for-form tersebut.

Kalau kamu mau ngisi satu form aja, saya anjurkan cari beasiswa dari luar negri semisal AAS, karena yang perlu kamu isi cuma form aplikasi beasiswa. Sedangkan untuk mendapat LoA, kamu cukup nulis kampus pilihan kamu, satu, dua dan tiga, nanti pihak AAS yang akan ngurusin semua, beres. Masalahnya bagi saya, AAS gak mengcover biaya untuk keluarga, alias gak ada family allowance, jadi walaupun saya s2 dulu dengan beasiswa AAS (dulu namanya ADS), untuk s3, saya berpaling ke LPDP lah…J Satu lagi, kalau apply beasiswa luar negri, universitasnya pasti di negara sponsor, sedangkan kalau kamu apply beasiswa dalam negri semisal LPDP, BUDI atau LPSDM (khusus Aceh), kamu bebas mencari LoA di negara manapun…

So, up to you lah…

Cara Menulis Email untuk Potential Supervisor

Udah dapat kan supervisor yang kira-kira sesuai dengan bidang penelitian kamu?, kalau udah, sekarang saatnya nulis email untuk dia, Bismillah…

Idealnya, email pertama bukan langsung to the point minta dia jadi supervisor kita, tapi awali dengan perkenalan diri secara singkat, trus ngomongin tentang salah satu publikasinya dia. Bilangin misalnya kamu tertarik dengan apa yang dia tulis dan ingin tau lebih lanjut tentang penelitian dia. Kalau dia ngebalas email kamu, baru di email kedua kamu bilang bahwa kamu sedang menyusun proposal riset tentang bidang yang didiskusikan. Trus baru nodong dia untuk mau jadi supervisor kamu, yang pasti dengan cara yang sopan ya… Selanjutnya tentang trik ini bisa kamu baca di link berikut: https://madeandi.com/2010/06/17/tips-beasiswa-menghubungi-calon-pembimbing/

Saya sendiri waktu awal-awal nyari supervisor berusaha menerapkan tips di atas, tapi kok jadi repot ya, hehehe…, masalahnya, saya harus buat satu proposal untuk target satu supervisor. Saya persiapkan proposal jauh-jauh hari, khawatir kalau si supervisor tertarik untuk melihat proposal saya, proposalnya masih di awang-awang, alias baru ada draftnya dalam alam pikiran doang. Eh…giliran saya email, yang balas mesin Automatic Reply, bilangin kalo dia lagi ‘on leave’ dan akan balik beberapa bulan ke depan, alamak…

Kemudian ada yang menyarankan, agar saya menulis proposal sesuai dengan tulisan-tulisan saya yang sudah dipublikasi, biar nampak bahwa saya membidangi hal yang ingin saya teliti. Saya pun mulai menulis proposal lain, dengan judul yang menurut saya bisa masuk ke jurusan TESOL (Teaching English to Speakers of Other Languages) atau Applied Linguistics. Harapan saya, akan ada banyak potential supervisor yang bisa saya hubungi. Namun kenyataannya tidak demikian saudara-saudara… Banyak yang membalas,“Sorry to disappoint you, but your research topic does not fall within my expertise”. Oh God… Selama empat bulan gitu terus jawaban yang saya dapat, selain penolakan karena mahasiswanya sudah mencapai kuota maksimal. Ada juga yang menolak karena udah pensiun, haduh... cape deh…Itu semua sebenarnya karena saya tidak menerapkan trik ketiga yang saya bicarakan di edisi ‘Finding A Supervisor’. Jadi kamu pake deh trik ketiga itu ya, semoga beneran dapat potential supervisor yang cocok dengan bidang penelitian kamu.

Terus terang karena kurang sabar, soalnya udah berbulan-bulan belum dapat supervisor, saya jadi malas membaca publikasi the potential supervisor, karena jadi makin lama, apalagi kalau diikuti dengan mengirim email pertama, kedua dan mungkin di email ketiga baru mengirimkan proposal. Jadi lama…yakan? Walaupun kembali lagi, idealnya gitu, bukan langsung nodong minta jadi supervisor. Jadi yang saya lakukan adalah menulis email yang sopan, agak singkat,-200an kata (sampai saat ini saya sedang nulis 420 kata)-dan langsung melampirkan proposal saya. Tapi karena tidak pake trik ketiga di judul sebelumnya, hampir empat bulan baru nemu supervisor yang tepat, Alhamdulillah, akhirnya… Kalau kamu mau dapat tips nulis email yang baik untuk potential supervisor, berikut ini ada tips yang ditulis oleh seorang supervisor penelitian yang menerima tiga sampai empat email per minggunyadari calon mahasiswa di seantero dunia. Berikut linknya: https://conservationbytes.com/2015/04/01/how-to-contact-a-potential-phd-supervisor/

Jadi gimana ni? Udah tau kan apa yang mau ditulis dan bagaimana nulis emailnya? Atau masih perlu contoh? Dosen saya waktu s2 dulu sempat ngomong, kalau mahasiswa Indonesia selalu minta contoh tugas, kebetulan saat itu memang ada yang minta contoh, hehehe… biar lebih terarah gitu… ya udah, ini contoh punya saya, ga bagus-bagus amat, yang penting sopan dan diterima.

dian fajrina <dian_fajrina270179@yahoo.co.id>                                                      Agt 2 pada 11:16 AM
Ke h.shokouhi@deakin.edu.au   


Dear Dr. Shokouhi,

I hope this finds you well. I am Dian from Banda Aceh, Indonesia. I am one of the lecturers at the Study Program of English Education, Syiah Kuala University, Banda Aceh, since 2005. I took my Master's Degree in Education at Flinders University, South Australia, in which I graduated in 2009.

I would like to pursue a doctoral degree in English Education and considering Deakin University as my intend university. I already have written a proposal focusing on Strategies applied by scholarship recipients while writing email to their potential supervisor. I am interested to conduct a research in the topic because I found many of those who got a scholarship from Indonesian government need to find their supervisor themselves. So they start to write an email to their potential supervisor. In writing the email, not only the strategy in communication they use that I want to study, but also the cultural aspects influence the way they write the email. The email that I mean is the one as I am writing to you now.

I already have a scholarship from the Indonesia government to study in an overseas university and my IELTS score is 7. It is therefore, I really expected that you would like to be my supervisor.
Thank you very much for your kind attention, Doctor, and I look forward to hearing from you at your earliest convenience.
Kind Regards,
Dian

Dan ini jawaban yang ditunggu-tunggu…

Hossein Shokouhi <h.shokouhi@deakin.edu.au>                                            Agt 2 pada 11:33 AM
Ke dian fajrina

Dear Dian
Thanks for showing interest at Deakin and my supervision!
I have looked at your proposal and I like the topic, as I have written a paper in email communication too. Your IELTS score is promising as well.
I am happy to supervise you. You need to apply online through Deakin Online and mention my name as your supervisor. Then the university will get in touch with me.

Regards
Hossein

Segitu dulu ya, semoga cepat dapat jawaban yang ditunggu-tunggu, tapi harus sabar, ok?

Finding A Supervisor

Lulus beasiswa? Alhamdulillah… gimana…gitu rasanya…. Tapi jangan terlalu berbahagia dulu, masih banyak pe-er yang harus kamu selesaikan supaya bisa kuliah di luar negri. Salah satu pe-er yang perlu kamu lakukan adalah mencari LoA (Letter of Acceptance) atau surat penerimaan dari universitas tujuan. Bagi yang mengambil Master, mungkin tantangannya tidak terlalu berat, asalkan punya IPK dan score TOEFL atau IELTS yang memenuhi persyaratan, Insya Allah bakalan diterima di kampus idaman. Berbeda halnya dengan kuliah Doktoral, atau Master by Research, dimana salah satu syarat aplikasinya adalah telah memiliki supervisor. Nah, di edisi ini kita akan bahas tips Finding Supervisor (bukan Dory atau Nemo ya…).

Diantara hal yang perlu kamu ingat dalam mencari calon pembimbing riset atau supervisor, yaitu: “kita yang butuh dia”. Jadi jangan terlalu banyak kriteria lah, sama halnya seperti orang mau nikah, kalau terlalu banyak kriteria, bisa lama….banget nikahnya, hehe... Misalnya membatasi harus kampus yang masuk dalam daftar 21 universitas terbaik dalam daftar universitas tujuan LPDP, karena kalau kamu bisa lolos di salah satu universitas ii, kamu bakalan dapat kucuran dan atmabahan sebesar $5000, tweng weng weng..., lumayan banget kan?? Atau kampus yang dituju hanya yang punya klub bola terkenal, umumnya terdapat di Inggris. Kriteria lainnya, sang supervisor haruslah bule, ngapain jauh-jauh kuliah ke Australia kalau supervisornya bermata sipit, toh di pasar Aceh juga banyak, gitu mungkin yang terpikir oleh kita, hehe… jadi, tips pertama, jangan terlalu banyak kriteria, karena kita yang melamar dia, bukan sebaliknya, ok??!!

Tips kedua, kamu mau melakukan riset selama 2-4 tahun kan? Nah, awali dengan riset kecil-kecilan tentang calon supervisor. Cari tau research interest dia apa, pelajari publikasinya, lihat juga judul-judul thesis atau disertasi mahasiswa bimbingannya. Semua info ini bisa kamu dapatkan di web kampus. Trus, kira-kira, research proposal kamu nyambung nggak dengan preference nya dia? Pengalaman saya, juga pengalaman teman-teman  yang lain, yang kebetulan satu grup di telegram LPDP, atau pengalaman orang yang saya baca di internet, dalam mencari supervisor paling sering mendapat email balasan bahwa topik proposal yang kita ajukan “does not fall within my expertise”.

Jadi, daripada gambling kirim email berpuluh-puluh dengan harapan ada yang menerima kita jadi mahasiswa bimbingannya, lebih baik sediakan waktu untuk melakukan tips di atas, insya Allah lebih cepat dapat supervisor yang tepat.

Trus, kadang-kadang jadi pusing sendiri ya, dimananya di web kampus mau dicari informasi tentang para supervisor? Karena web tiap kampus itu gak persis sama letak informasi yang ingin didapatkan. Ini tips selanjutnya, supaya cepat, ketik bidang spesialisasi atau jurusan kita, diikuti dengan nama kampus dan akhiri dengan key word proposal kita.  Misalnya, ‘supervisor in Applied Linguistics at UoW Communication Strategies’, Insya Allah langsung dapat deh.

Kalau sudah dapat Pak atau Bu supervisor, edisi selanjutnya kita bahas bagaimana cara nulis email yang sopan dan to the point, ok?

Emang Enak Tinggal di Luar Negri?

Biasanya nih, kalau mau ke luar negri yang terbayang yang indah-indah aja, yang akan hidup di negri majulah, yang pemandangannya indah, bis...