Kamis, 25 Januari 2018

Apa yang Harus Dilakukan Kalau Ada Bagasi yang Hilang?

Tenang, tenang, yang hilang bukan koper berisi baju, tapi koper yang isinya printer dan kain selimut tipis untuk menjaga printer dari benturan. Saat itu tidak ada lagi penumpang yang mengantri bagasi, tinggal 3 orang petugas di tempat scan isi koper dan 1 orang petugas di counter tempat melaporkan kehilangan barang. Akupun langsung menuju ke petugas tersebut dan melaporkan bahwa satu bagasi kami hilang. Lalu kami diminta untuk menunggu sambil mereka berusaha mencari. Tunggu punya tunggu…hasilnya nihil. Akhirnya aku diminta mengisi form tentang koper yang hilang, warna, merek, isinya apa, naik penerbangan apa, dll.

Setelah itu baru kami mengscan koper-koper dan tas kami yang semuanya berjumlah 14, 12 koper, dan 3 tas. Di tempat scan koper, aku langsung memberikan satu tas untuk diperiksa, karena isi tas itu semuanya barang-barang yang harus di declare atau dilaporkan. Barang-barang yang harus dilaporkan itu umumnya makanan, obat-obatan, biasanya kalau makanan dan obat itu dari pabrik atau makanan homemade yang dikemas rapi, juga tercantum ingredientsnya, tidak jadi masalah, tapi tetap harus dilaporkan. Biasanya yang tidak lulus sensor alias harus masuk tong sampah adalah makanan yang terbuka seperti buah-buahan, atau barang dari kayu atau tanah liat, intinya barang dari benda organic, dan banyak lagi yang harus dideclare. Kalau tidak kita declare dan ketahuan waktu koper kita discan, maka kita dianggap menyembunyikan benda tersebut, dan resikonya biasanya harus membayar denda yang jumlahnya jutaan. Jadi, hati-hati dengan benda-benda yang harus dideclare ini, pelajari peraturan keimigrasian negara tujuan, yang umumnya sama dengan peraturan imigrasi internasional, sebelum kita mempacking barang-barang kita.

Ketika petugas tempat mendeclare barang tahu bahwa kami dari Indonesia, spontan dia bertanya, “Rendang?”, saya bilang tidak ada, kebetulan memang tidak terpikir untuk membawa rendang, toh bahan-bahan untuk memasak rendang gampang dicari di kota tujuan.
Biasanya, karena saya orang Aceh, yang terpikir adalah membawa Asam Sunti, atau Belimbing Wuluh yang dikeringkan, dan pernah sukses lolos di imigrasi sewaktu Ibu saya ke Adelaide 10 tahun yang lalu untuk mengunjungi saya yang sedang studi S2 di sana dan akan melahirkan anak kami yang kedua. Waktu itu asam suntinya dikemas rapi dengan 2 lapis plastik transparan dan disematkan kertas yang terketik ingredientsnya. Karena Belimbing Wuluh tidak populer di negara-negara dengan suhu dingin seperti Australia, maka kami gunakan nama Bahasa Latinnya sebagai Bahasa internasional untuk tanaman, karena di Australia tumbuhan ini tidak bisa dijumpai, sedangkan di kota Christchurch ada, tapi dalam bentuk frozen di toko-toko kelontong Asia, itupun belum tentu selalu ada pasokan.
Satu lagi yang dibawa oleh ibu saya adalah Pliek U atau kelapa yang dikeringkan dan menghitam, tapi tidak lolos, dan dengan meminta maaf petugas bandara memasukkannya ke tong sampah, wajar saja, karena baunya memang menyengat, haha. Itulah dua bumbu khas makanan Aceh yang hampir tidak ditemukan di wilayah Indonesia lainnya, kalaupun ada, biasanya harus rela buat sendiri.


Asam Sunti atau Belimbing Wuluh kering dan Pliek U atau kelapa yang dikeringkan

Beres urusan imigrasi, kami menuju ke luar bandara, celingukan mencari jemputan dari University of Canterbury yang sudah kami order online untuk menjemput kami, fasilitas ini gratis untuk mahasiswa. Namun karena kami sudah sangat terlambat, mobilnya sudah tidak ada lagi. Tidak ada pilihan lain, kami pun menumpangi Super Shuttle, dengan 5 orang penumpang, bayi tidak dihitung, dan belasan koper + tas, saat itu kami harus membayar NZD$42.

Tiba di rumah sudah pukul 5 sore, saat itu menjelang winter, dan pukul 5 sore itu sudah hampir masuk waktu shalat Maghrib. Di rumah Mbak Ririn dan keluarganya sudah menunggu kami dengan satu panci kuah sup ayam dan dadar telur. Sebelumnya Mbak Ririn sempat nanya, “Mbak Dian suka makanan pedas?” Aku jawab suka, tapi untuk menghindari sakit perut di hari-hari pertama kedatangan kami, maka aku bilang jangan pedas aja. Aku sangat bersyukur atas perhatian yang diberikan oleh Mbak Ririn dan keluarganya, yang sangat tahu kondisi kami yang baru sampai pastinya lapar dan letih. Apalagi makanan dalam pesawat terakhir yang kami tumpangi bercita rasa makanan bule, anak-anak tidak suka dengan aroma jintan yang lumayan kuat dalam daging yang disediakan untuk kami. 

1 komentar:

  1. yang butuh airport pick up service dari University of Canterbury, New Zealand, ini linknya:
    http://www.canterbury.ac.nz/international/before-you-arrive-in-new-zealand/accommodation-for-international-students/airportpickup/

    BalasHapus

Emang Enak Tinggal di Luar Negri?

Biasanya nih, kalau mau ke luar negri yang terbayang yang indah-indah aja, yang akan hidup di negri majulah, yang pemandangannya indah, bis...